AKHIR 2022 lalu, Mahkamah Konstitusi (MK) menerima permohonan pengujian terhadap sejumlah norma Undang-Undang Pemilu terkait sistem proporsional terbuka yang diadopsi di dalamnya.
Setelah diterapkan dalam empat kali pemilu dengan dua varian berbeda, sistem ini sekarang dipersoalkan konstitusionalitasnya. MK diminta untuk menyatakan norma terkait proporsional terbuka itu bertentangan dengan UUD 1945. Gugatan terhadap sistem itu didasari alasan bahwa ia telah mendistorsi peran partai politik sebagai peserta pemilu, menyebabkan terjadinya persaingan yang tidak sehat, dan berkontribusi atas maraknya politik uang.
Jika hari ini sistem proporsional terbuka dipersoalkan karena maraknya praktik politik uang, siapa yang menjamin bahwa proporsional tertutup bebas politik uang? Bukankah sistem proporsional tertutup juga bisa dihinggapi persaingan yang tidak sehat dan politik uang? Bukankah pengalaman di masa lalu sudah cukup jadi pembelajaran bagi kita yang hidup di zaman ini?
Hanya saja, Indonesia bukan tidak berpengalaman dengan proporsional tertutup. Pemilu 1955 dan pemilu-pemilu masa Orde Baru dilaksanakan menggunakan sistem proporsional tertutup. Sejarah pemilu membuktikan bahwa proporsional tertutup justru menghadirkan wakil-wakil rakyat yang sepenuhnya dikendalikan elite parpol dengan kontestasi yang juga jauh dari kata sehat. Anggota legislatif tidak lebih dari sekadar penyambung lidah partai, bukan sebagai jembatan aspirasi rakyat.
Jika langkah tersebut dilaksanakan, siapa yang dapat menyangkal bahwa proporsional terbuka juga mampu menopang pelembagaan parpol itu sendiri, bahkan dengan hasil yang bisa lebih baik? Sayangnya, parpol cenderung bersikap pragmatis dengan merekrut calon secara serampangan, dengan hanya melihat popularitas dan kemampuan finansial semata. Akhirnya, ketika terpilih, mereka tidak memiliki kesetiaan kepada parpol sehingga dianggap menjadi masalah dalam pelembagaan parpol.
Secara konstitusional, pilihan sistem proporsional terbuka pada dasarnya tidak bersoal dengan keberadaan Pasal 22E ayat UUD 1945, yang menyatakan bahwa peserta pemilu untuk memilih anggota DPR dan DPRD adalah partai politik. Sebab, proporsional terbuka sama sekali tidak menegasikan peran parpol sebagai peserta pemilu, di mana otoritas kepesertaan tetap berada di tangan parpol.
Dalam perkembangan ketatanegaraan di bidang kepemiluan belum terdapat alasan konstitusional kuat yang dapat digunakan MK untuk mengubah pendiriannya. Oleh karena itu, konsistensi sikap MK terhadap proporsional terbuka, dalam menilai permintaan untuk kembali ke sistem proporsional tertutup, sangat diperlukan.
Deutschland Neuesten Nachrichten, Deutschland Schlagzeilen
Similar News:Sie können auch ähnliche Nachrichten wie diese lesen, die wir aus anderen Nachrichtenquellen gesammelt haben.
Masuk Daftar Calon Gubernur BI, Ini Jawaban Sri MulyaniSri Mulyani mengatakan, penentuan dan masa pergantian Gubernur BI sudah diatur dalam Undang-Undang (UU).
Weiterlesen »
MK Diminta Tidak Masuk dalam Penentuan Sistem PemiluMK Diminta Tidak Masuk dalam Penentuan Sistem Pemilu. Penentuan sistem pemilu, ujar Ninis, sapaan Khoirunnisa, seharusnya menjadi kewenangan pembuat undang-undang.
Weiterlesen »
Program Kemandirian Pangan di Sumsel Dinilai Belum Memiliki Indikator JelasPemerintah Sumatera Selatan mengklaim Gerakan Sumsel Mandiri Pangan mampu menekan angka kemiskinan dan tengkes. Namun, klaim tersebut belum bisa dibuktikan. GSMP disebut tidak memiliki indikator kinerja yang jelas. Nusantara AdadiKompas
Weiterlesen »
Mendes PDTT: Masuknya BUMDes-BUMDesma ke OSS dukung kemandirian desaMenteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Mendes PDTT), Abdul Halim Iskandar menyampaikan masuknya BUMDes dan BUMDesma dalam sistem Online ...
Weiterlesen »
PSI Tegaskan Tolak Pemilu Sistem Proporsional TertutupGrace Natalie menegaskan PSI menolak Pemilu dengan sistem proporsional tertutup. Ia mengatakan hal itu mencederai demokrasi.
Weiterlesen »